Minggu, 25 November 2012

SISTEM PEMILU



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu sarana demokrasi.
Pesta demokrasi yang merupakan perwujudan tatanan kehidupan negara dan masyarakat yang berkedaulatan rakyat, pemerintahan dari dan untuk rakyat. Melalui pemilu, setidaknya dapat dicapai tiga hal. Pertama, lewat pemilu kita dapat menguji hak – hak politik rakyat secara masif dan serempak. Kedua, melalui pemilu kita dapat berharap terjadinya proses rekrutmen politik secara adil, terbuka, dan kompetitif. Ketiga, dari pemilihan umum kita menginginkan adanya pola pergiliran kekuasaan yang damai.
Pemilu di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Namun, setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu.

1.2 Rumusan Masalah
Semua negara sering mendeklarasikan sebagai negara yang demokratis. Salah satu cirinya utamanya yaitu penyelenggaraan pemilu untuk memilih wakil rakyat, baik di lembaga legislatif maupun lembaga eksekutif, berdasarkan program yang diajukan peserta pemilu. Oleh karena itu, tujuan pelaksanaan pemilu adalah terpilihya wakil rakyat dan terselenggaranya pemerintahan yang benar – benar sesuai dengan aspirasi rakyat. Pemilu yang dilaksanakan tanggal 9 April 2009 terdapat banyak kelemahan. Pertama, aturan pemilu sering berubah – ubah atau tidak stabil diluar kewanangan KPU. Kedua, pengaturan untuk Pemilu 2009 jauh lebih rumit, terutama terkait suara terbanyak yang bisa memicu sengketa antarpartai, antarcaleg. Ketiga, dilihat dari partai peserta pemilu, kali ini jumlahnya terbanyak dalam sejarah yaitu 44 partai 38 partai nasional dan 6 partai lokal. Keempat, pada saat yang bersamaan apatisme rakyat meluas, karena melihat partai-partai politik mempertunjukkan sikap yang tidak sportif ditambah kondisi kesulitan ekonomi. Kelima, citra negatif KPU yang diwariskan dari carut marutnya penyelenggaraan pilkada sebelumnya. Lebih tidak sesuai lagi dengan UUD 1945 dimana hak pilih rakyat harus bisa teraspirasikan, tetapi tidak bisa teraspirasi dalam pemilu karena banyak warga yang berhak untuk mencontreng tidak tercantum namanya dalam daftar pemilih tetap.
Sungguh ironis dalam hal ini, dimana negara Indonesia menyatakan bahwa dirinya adalah negara yang demokratis.

1.3 Tujuan
1. Dapat mengetahui kelemahan pemilihan umum 2009.
2. Dapat mengetahui bagaimana pesta demokrasi di Indonesia berjalan.
3. Dapat mengetahui apakah hak pilih semua warga Indonesia dapat teraspirasi dan terpenuhi dalam pemilu.
4. Dapat mengetahui apakah asas pemilu yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil berjalan di Indonesia.

1.4 Manfaat
1. Memperluas pandangan kita bagaimana realita pemilu di Indonesia.
2. Memperluas pengalaman dan pengetahuan tentang politik di Indonesia.
3. Memperluas pemahaman bagaimana asas pemilu harus dijalankan dan pentingnya hak pilih warga harus dijunjung tinggi.

1.5 Ruang Lingkup
Pemilu yang dilaksanakan di Indonesia merupakan sebuah jalannya pesta demokrasi di Indonesia. Demokrasi di Indonesia yaitu berupa pemilihan calon anggota legislatif yang akan duduk di kursi DPR, DPRD dan DPD dan juga pemilihan presiden dan wakil presiden. Pemilihan anggota legislatif berasal dari berbagai partai – partai politik yang memenangkan dalam pemilihan umum secara langsung. Pemilihan presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat yang sebelumnya calon presiden dan wakil persiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilihan umum dan calon presiden sudah memenuhi persyarat sebagai seorang presiden menurut UUD 1945 pasal 6.













BAB II
METODE PENULISAN
2.1 Objek Penulisan
Pemilihan umum di Indonesia merupakan salah satu ciri negara yang demokratis. Dimana hak pilih setiap rakyat secara langsung merupakan salah satu hak rakyat yang harus bisa terpenuhi. Setiap rakyat Indonesia berhak untuk menyalurkan aspirasinya dalam pemilu. Pemilu yang di laksanakan tanggal 9 April 2009 merupakan sarana untuk mengaspirasikan suara rakyat yeng disalurkan melalui memilh secara langsung wakil – wakil rakyat yang dipilihnya. Namun pemilu yang di laksanakan belum lama ini telah memberika kita sebuah catatan besar bahwa banyak kelemahan dalam pemilu. Ini sungguh ironis dan menjadi sebuah catatan besar bagi penyelenggara pemilu.

2.2 Dasar Pemilihan Objek
Pesta demokrasi yang berjalan di Indonesia belum benar – benar berjalan dengan baik, karena banyak terjadi kesalahan dalam penyelenggaraan pemilu. Misalnya; banyak warga yang tidak terdaftar sebagai pemilih tetap, banyak warga yang berpaham apatisme, karena melihat partai-partai politik mempertunjukkan sikap yang tidak sportif ditambah kondisi kesulitan ekonomi.

2.3 Metode Pengumpulan Data
a. Kaji pustaka
Melalui pengkajian dari berbagai sumber yang benar – benar obyektif, sesuai dengan realita yang terjadi dalam pemilu yang berjalan di Indonesia. Sumber – sumber yang di tuangkan dalam berbagi artikel, makalah, dan pengkajian tentang penilaian pemilu 2009.

2.4 Metode Analisis
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan wahana bagi warga negara untuk menggunakan hak politiknya untuk memilih orang yang dianggapnya layak sebagai wakil yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maupun sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu yang sudah berjalan banyak sekali kelemahan dan pelanggaran terhadap hak pilih rakyat yang seharusnya dilindungi oleh negara.
Banyak warga yang tidak memilih, baik karena golput politik ataupun golput secara teknis-administratif. Agar kesalahan – kesalahan ini tidak terjadi lagi dalam pemilu yang akan datang, perlu sekiranya KPU harus memutakhirkan data pemilih. Ada dua hal yang mungkin bisa dilakukan KPU dalam melindungi hak warga yang sebelumnya telah dilanggar. Pertama yaitu dengan membuat posko pengaduan warga yang belum tercantum dalam DPT. Kedua yaitu menerbitkan peraturan KPU yang mengakomodasi pemilih yang tidak terdaftar, kendati semua pihak telah bekerja keras untuk itu. Mereka cukup menunjukkan KTP atau tanda kependudukan yang sah kepada petugas TPS bila hendak memilih. Terhadap rekomendasi kedua ini, KPU bisa berdalih surat suara terbatas dan undang-undang telah memagari KPU bahwa hanya pemilih terdaftar yang bisa memilih. Terhadap problem jumlah surat suara, bisa saja diatur bahwa mereka yang tidak terdaftar baru diizinkan memilih bila proses pemungutan suara bagi pemilih terdaftar telah ditutup pada pukul 12.00 dan masih ada sisa surat suara yang belum terpakai.























BAB III
Pembahasan
3.1 Lemahnya Pemilu 2009
Pemilu 2009 yang berlangsung pada tanggal 9 April 2009 sekali lagi telah menorehkan sejarah baru dalam transformasi pemerintahan di Indonesia. Puluhan ribu calon legislatif memperebutkan kursi panas di Senayan. Banyak hal yang kemudian menjadi sorotan dan dianggap sebagai kelemahan pemilu 2009. Kelemahan-kelemahan tersebut bersifat substantif maupun teknis.
Secara substantif, beberapa hal yang menjadikan pemilu 2009 memiliki kelemahan. Pertama, aturan Pemilu kali ini sangat tidak stabil alias suka berubah-ubah diluar kewenangan KPU, misalnya soal terbitnya Perpu dan putusan MK yang semuanya substansial yaitu pergantian tata cara pemungutan suara dari coblos menjadi contreng. Baik Pemilu 2004 maupun Pemilu 2009 sama-sama memiliki kendala sempitnya waktu persiapan penyelenggaraan pemilu karena undang-undang yang menjadi dasar penyelenggaraan terbit kurang dari 1,5 tahun dari tanggal pemungutan suara. Padahal, idealnya waktu persiapan penyelenggaraan sekitar dua tahun. Kedua, pengaturan untuk Pemilu 2009 jauh lebih rumit, terutama terkait suara terbanyak yang bisa memicu sengketa antarpartai, antarcaleg.
Ketiga, dilihat dari partai peserta Pemilu, kali ini jumlahnya terbanyak dalam sejarah yaitu 44 partai 38 partai nasional dan 6 partai lokal. Keempat, pada saat yang bersamaan apatisme rakyat meluas, karena melihat partai-partai politik mempertunjukkan sikap yang tidak sportif ditambah kondisi kesulitan ekonomi. Kelima, citra negatif KPU yang diwariskan dari carut marutnya penyelenggaraan pilkada sebelumnya.
Selain diliputi masalah-masalah yang sifatnya substantif, pemilu 2009 juga tak luput dari masalah teknis. Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary di KPU mengungkapkan ada 7 permasalahan dalam pemilu 2009 yakni kurang akuratnya data pemilih, tidak memenuhi persyaratannya calon legislatif, permasalahan parpol internal KPUD yang kurang transparan dan tidak adil terhadap calon-calonnya, dugaan money politics, pelanggaran masa kampanye, dan penghitungan kurang akurat.
Terdapat sebuah kasus yang menjadi sebuah catatan penting bagi jalannya pemilu yang berjalan di Indonesia ini. Yaitu ketidak beresan dalam penyelenggaraan pemilu 2009. Ironisnya terdapat warga yang mendapat undangan untuk mencontreng di dua TPS yang berbeda. Ini sungguh sebuah catatan penting bagi penyelenggara pemilu, karena masalah teknis seperti ini seharusnya tidak terjadi dalam pesta demokrasi yang memakan uang rakyat. Sungguh ironis ada dalam satu keluarga saja ada yang yang terdata dan ada yang tidak terdata sebagai pemilih. Lebih parah lagi dalam suatu keluarga ada yang tidak sama sekali terdata sebagai pemilih. Hal ini selain merugikan warga negara karena harus kehilangan hak pilihnya, penyelenggaraan pemilu ini juga secara tidak langsung meningkatkan angka golput, baik golput karena memang menganggap pemilu 2009 tidak akan membawa perubahan berarti maupun golput karena hal-hal yang sebenarnya tidak diinginkan. Padahal hak pilih setiap warga negara dilindungi oleh undang – undang dimana semua warga berhak memilih dan menyalurkan aspirasinya, dalam hal ini melalui pemilihan umum secara langsung.
Menurut data yang didapat dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI),misalnya, menyebutkan ada sekitar 28 persen pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya. Bila angka ini benar, maka sebenarnya yang memenangkan pemilu adalah golput. Yang menjadi pertanyaan, mengapa banyak yang golput? Golput terdiri atas dua genre : golput politik dan golput teknis. Terhadap meraka yang golput karena pilihan politik, karena menganggap pemilu tidak berguna, hanya memboroskan anggaran negara, sekedar sarana bagi partai politik dan calon legislator untuk menyampaikan janji – janji kosong yang langsung dilupakan ketika sudah melenggang di kursi – kursi parlemen. Dinegara ini, menggunakan hak memilih (casting vote) masih dilonstruksikan sebagai hak, belum menjadi kewaajiban sebagaiman halnya di Australia. Namun bagi yang golput karena teknis-administratif, yaitu tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT), soal ini harus dicari akar masalah dan solusinya.
Ada empat pihak yang patut disalahkan atas banyaknya warga negara yang tidak dapat menggunakan hak pilih karena soal teknis-administratif. Pertama-tama dan yang utama adalah KPU dan jajarannya sebagai penyelenggara pemilu. Undang-Undang Pemilu (UU Nomor 10 Tahun 2008) menyatakan bahwa warga negara yang sudah berusia 17 tahun atau sudah/pernah kawin punya hak memilih.
Untuk menggunakan hak memilih, pemilih harus didaftar, yang kewajibannya dibebankan kepada penyelenggara pemilu (KPU dan jajarannya). Model pendaftaran yang dianut dalam UU Pemilu ada stelsel pasif. Suka atau tidak, semua warga negara yang telah memenuhi syarat akan didaftar. Hal ini membedakan dengan praktek di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris, yang menggunakan stelsel aktif. Untuk menggunakan haknya, warga negara yang memenuhi syarat harus mendaftarkan diri secara aktif. Penyelenggara pemilu tidak akan memberikan surat suara kepada pemilih yang tidak mendaftar. Bila ada warga negara yang memenuhi syarat tidak terdaftar, KPU patut disalahkan. KPU bisa dipersepsikan telah melalaikan kewajiban untuk mendaftar semua pemilih yang berhak memilih. Pihak yang ingin “menyerang” KPU tinggal menggunakan ketentuan Pasal 260 dan Pasal 311 UU Pemilu. Pasal 260 mengancam dengan ancaman hukuman penjara 12-24 bulan terhadap setiap orang (termasuk anggota KPU) yang menyebabkan orang lain kehilangan hak pilih. Pasal 311 menegaskan tambahan sepertiga hukuman bila tindak pidana pemilu tersebut dilakukan penyelenggara pemilu.
Pihak kedua, sejak zaman otoriter hingga demokratis hingga saat ini, data penduduk selalu bermasalah. Birokrasi pemerintahan tidak bekerja untuk mendata penduduk secara lengkap dan valid, yang akan digunakan dalam setiap pemilu. Padahal, pemilu adalah sesuatu yang bisa diprediksi waktunya. Terlebih Indonesia mengatur sistem pemerintahan presidensial, bukan parlementer dimana pemilu bisa diadakan sewaktu-waktu.
Pihak ketiga yang harus disalahkan adalah partai politik. Undang-Undang Pemilu telah mengamanatkan bahwa parpol bisa meminta salinan daftar pemilih sementara (DPS) kepada panitia pemungutan suara (PPS). Tujuannya, parpol bisa mengecek apakah konstituen atau calon pemilih potensial mereka terdaftar. Nyatanya, banyak parpol tidak bekerja untuk itu. Bila menjelang hari pemilihan masih ada parpol yang berteriak bahwa banyak pemilihnya tidak terdaftar, teriakan itu tidak perlu didengarkan lagi. Undang – Undang Pemilu telah memberikan kesempatan, tetapi parpol tidak menggunakannya. Jangan karena awak tak pandai menari, lalu lantai pula yang disalahkan.
Terakhir, kesalahan patut pula ditimpakan kepada pemilih yang bersangkutan. Undang-undang telah memberikan kesempatan kepada pemilih untuk menengok dan melongok daftar pemilih sementara (DPS) sebelum ditetapkan menjadi DPT. Bahkan penetapan DPT bisa direvisi dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2009. Maksudnya, lagi-lagi agar mereka yang tidak terdaftar dapat mendaftarkan diri. Bila pemilih tidak juga terdaftar lantaran alpa mengecek DPT, mereka harus sadar bahwa konsekuensinya adalah tidak bisa memilih.
Namun, yang perlu digarisbawahi, derajat kesalahan pemilih paling rendah ketimbang tiga pihak yang lebih dulu disebut. Argumentasinya sederhana, KPU, pemerintah, dan parpol dibayar untuk menyelamatkan suara rakyat. KPU dan jajaran pemerintah memperoleh gaji dari uang rakyat yang disedot negara. Demikian pula parpol yang mendapat sumbangan dari APBN berdasarkan perolehan suara atau kursi masing-masing. Siapa pun yang dibayar negara mempunyai kewajiban terhadap rakyat atau warga negara, begitulah teorinya.
Warga negara sudah seharusnya mendapatkan hak pilihnya dalam pemilu yang berjalan di Indonesia, dimana hak pilih warga secara jelas dalam peraturan komisi pemilihan umum nomor 11 tahun 2008 bab II tentang hak memilih warga negara telah di tertulis yaitu sebagai berikut :
HAK MEMILIH
Pasal 3
1. Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.
2. Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih.
Pasal 4
1. Untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih.
2. Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berada di Luar Negeri hanya memilih calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan Pasal 157 ayat (1) Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Pasal 5
1. Seorang pemilih hanya didaftar 1 (satu) kali dalam daftar pemilih di PPLN/TPSLN.
2. Apabila seorang pemilih mempunyal Iebih dari 1 (satu) tempat tinggal, pemilih tersebut harus menentukan satu diantaranya yang alamatnya sesuai dengan alamat yang tertera dalam tanda identitas kependudukan (KIP) atau Paspor untuk ditetapkan sebagai tempat tinggal yang dicantumkan dalam daftar pemilih.
Ini sudah sangat jelas bahwa hak pilih warga sudah seharusnya di junjung tinggi dalam pelaksanaan pemilu, tidak seharusnya warga atau rakyat kehilangan hak pilihnya. Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap individu/warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh Negara. Jaminan terhadap hak ini telah dituangkan baik dalam Konstitusi (UUD 1945-Amandemen) maupun UU, yakni UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.

3.2 Berjalankah Asas Luber dan Judil Dalam Pemilu 2009
Pemilu yang tidak mampu mancapai tujuan hanya akan hanya akan menjadi mekanisme pemberian legitimasi bagi pemegang kekuasaan negara. Pemilu yang demikian adalah pemilu yang kehilangan roh demokrasi. Tujuan pemilu itu sendiri adalah terpilihnya wakil rakyat dan terselenggaranya pemerintahan yang benar – benar yang sesuai dengan pilihan rakyat. Untuk mencapai tujuan itu pemilu harus dilaksanakan menurut dengan asas – asas tertentu yang mengikat keseluruhan proses pemilu dan semua pihak yang terlibat, baik penyelenggara, peserta, pemilih atau bahkan pemerintah sekalipun. UUD 1945 menentukan bahwa pemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,jujur,dan adil.
Bagi bangsa Indonesia, pemilu sudah merupakan bagian dari agenda ketatanegaraan yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali sejak masa Orde Baru.
Asas pemilu pada masa Orde Baru adalah sebatas pada langsung, umum,bebas, dan rahasia atau yang dikenal dengan asas “luber”. Asas itu lebih diorientasikan kepada cara pemilih menyampaikan suaranya, yaitu harus secara langsung tanpa diwakilkan, berlaku umum bagi semua warga negara, dilakukan secara bebas tanpa adanya paksaan, dan secara rahasia. Namun apabila dilihat dari jalannya pemilu yang telah lalu, asas ini belum sepenuhnya tercapai karena masih banyak warga yang kehilangan hak pilihnya. Dengan demikian asas – asas tersebut hanya menjadi dasar pengaturan mekanisme pelaksanaan pemilihan atau pemungutan suara. Sementara terhadap penyelenggara pemilu dan peserta pemilu tidak ada asas yang harus dipatuhi. Salah satu akibatnya adalah terjadinya pengingkaran roh demokrasi dalam penyelenggaraan pemilu, baik oleh penyelenggara maupun peserta. Penyelenggara pemilu dalam praktiknya menjadi pemain untuk memenangkan peserta pemilu tertentu dengan cara-cara yang melanggar aturan dan prinsip demokrasi. Pada akhirnya, hasil pemilu tidak mencerminkan pilihan rakyat, tetapi hanya menjadi legitimasi bagi pihak yang sedang berkuasa. Berdasarkan latar belakang tersebut, dalam Perubahan UUD 1945 dirumuskan bahwa penyelenggaraan pemilu di samping harus secara langsung, umum, bebas, dan rahasia, juga harus secara jujur dan adil.
Asas jujur mengandung arti bahwa pemilu harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Sesuai dengan asas jujur, tidak boleh ada suara pemilih yang dimanipulasi. Ini sangat jelas bahwa hak pilih sangat dilindungi, namun pemilu yang berjalan saat ini belum sepenuhnya menjiwai asas pemilu yaitu jujur.
Adapun asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.
Asas jujur dan adil tidak hanya terwujud dalam mekanisme prosedural pelaksanaan pemilu, tetapi juga harus terwujud dalam segala tindakan penyelenggara, peserta, pemilih, bahkan pejabat pemerintah.
Dengan demikian asas jujur dan adil menjadi spirit keseluruhan pelaksanaan pemilu. Namun asas adil yang ada, dalam pemilu yang telah lalu belum mencerminkan sebuah keadilan yang merata terhadap jalannya pemilu. Terbukti dengan adanya warga Indonesia yang kehilangaan hak pilihnya. Hal ini menjadikan warga yang menganggap bahwa pemilu belum sepenuhnya sesuai dengan asas pemilu, bahkan masih jauh dengan asas pemilu itu sendiri.

3.3 SISTEM PEMILIHAN LEGISLATIF                                                                   Partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu merupakan arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik dipemerintah yang didasarkan pada pemilihan formal dari warga negara yang memenuhi syarat. Peserta pemilu adalah partai politik. Partai politik mengajukan kandidat dalam pemilu untuk kemudian dipilih oleh rakyat.
A. Sistem Pemilu                                                                                                                  1. Sistem Parliamentary Threshold                                                                               Sistem parliamentary Threshold merupakan sistem ambang batas yang diterapkan pada pemilu legislatif 2009. Mekanisme parliamentary threshold diatur dalam UU No.10 tahun 2008 (tentang pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD) Pasal 202 ayat satu yang berbunyi : Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR. Soal ketentuan parliamentary threshold (PT) yang ditetapkan sebesar 2,5 persen total suara nasional. Dengan ketentuan ini, parpol yang total perolehan suaranya tidak mencapai 2,5 persen total suara sah hasil pemilu legislatif tak akan disertakan dalam tahap penghitungan perolehan kursi DPR di seluruh daerah pemilihan.Artinya, perolehan suara semua parpol peserta Pemilu 2009 di 77 daerah pemilihan harus direkapitulasi terlebih dulu untuk menentukan parpol mana saja yang berhak memperebutkan kursi di sebuah dapil. Perolehan sebuah parpol, sekecil apa pun, akan memengaruhi komposisi keseluruhan perolehan suara parpol secara nasional.
Penentuan perolehan Kursi DPR untuk Pemilu 2009 berbeda dengan Pemilu 2004, hal ini disebabkan adanya ketentuan Parliament Threshold (PT). Pada Pemilu 2009, parpol yang mendapatkan kursi DPR adalah parpol yang memperoleh PT sebesar 2,5 % ; yakni perolehan suara sah parpol tersebut, minimal mencapai 2,5 persen dari total suara sah pemilih.
Misalkan saja pada Pemilu 2009 :
•    Jumlah Pemilih Terdaftar (DPT) untuk pemilu DPR sebanyak 177.000.000 orang pemilih
•    Dari DPT ini (misalkan saja, yang menggunakan hak suara yang datang ke TPS serta cara mencentang surat suara secara benar adalah 70 % dari DPT), sehingga suara sah nasional menjadi 123.900.000 suara (pemilih)
Berdasarkan data tersebut, bila suatu Parpol tidak mencapai perolehan suara minimal 2,5 % dari suara sah nasional atau sebesar 3.097.500 suara, maka parpol tersebut tidak akan memperoleh kursi DPR untuk daerah pemilihan (dapil) manapun. Karena memang parpol tersebut tidak akan dilibatkan lagi dalam penghitungan kursi DPR.
Bisa saja seorang caleg memperoleh suara terbanyak di daerah pemilihan (dapil)-nya, tetapi tidak dapat ditetapkan sebagai anggota DPR karena partainya tidak memenuhi ketentuan parliamentary threshold.
2. Sistem Pemilihan DPR                                                                                                           Pada tingkat nasional, peserta pemilu 2009 berjumlah 38 partai politik. Dari jumlah tersebut, secara kategoris dapat diklasifikasikan antara lain partai-partai yang lolos electoral threshold sebesar 2% kursi DPR dalam pemilu sebelumnya. Pada kategori ini terdapat 7 partai politik yang lolos electoral threshold yaitu : golkar, PDIP, PPP, PKB, PAN, PD dan PKS.                                                                                                               Secara prinsip, sistem yang dipakai masih melanjutkan sistem pemilu sebelumnya, yaitu sistem propoorsional, meskipun dengan melakukan berbagai modifikasi. Konsep representasi atau daerah pemilihan yang dipakai adalah provinsi atau bagian-bagian provinsi. Untuk pemilihan DPR, jumlah kursi yang diperebutkan disetiap daerah pemilihan berkisar antara 3 sampai dengan 10 kursi. Sementara itu, untuk pemilu DPRD kursi yang diperebutkan antara 3 sampai dengan 12 kursi.                                                    Pada pemilu kali ini memakai 2 threshold. Pertama, electoral threshold, yaitu syarat partai untuk dapat ikut serta dalam pemilu sebelumnya, sebesar 3 persen suara. Kedua, parliamentary threshold, yaitu syarat partai untuk dapat diikutsertakan dalam penghitungan kursi DPR, yaitu sebesar 2,5% tidak dapat menempatkan wakilnya di DPR. Parlianentray ini dijadikan dasar untuk menentukan partai-partai yang tidak diikutsertakan dalam penentuan perolehan kursi partai. Penghitungan perolehan kursi partai untuk DPRD tidak berbeda dengan pemilu 2004. Sementara itu, dalam penentuan perolehan kursi DPR terdapat modifikasi, yaitu menggunakan sistem sisa suara terbesar (largest remainder) varian hare dengan bersyarat. Penetuan perolehan suara kursi partai setelah dilakukan pengurangan suara dari partai-partai yang tidak memenuhi parliamentary threshold, dan sisa kursi yang belum habis dibagi pada penghitungan pertama disebuah daerah pemilihan diberikan kepada partai yang mendapatkan suara lebih dari 50% BPP. Apabila masih terdapat sisa kursi didaerah pemilihan tetapi perolehan suara sisa partai tidak mencapai 50% BPP maka suara partai diakumulasikan ditingkat provinsi untuk dibuat bilangan pembagi pemilih baru untuk menentukan kursi. Secara lebih jelas, berikut adalah m Secara lebih jelas, berikut adalah mekanisme penentuan perolehan kursi partai:
a)    Penentuan perolehan jumlah kursi didasarkan atas hasil penghitungan seluruh suara sah dari setiap partai politik setelah dikurangi perolehan suara partai-partai yang tidak memenuhi parliamentary threshold sebesar 2,5%
b)    Dari hasil penghitingan seluruh suara sah tersebut, yaitu setelah dikurangi suara partai yang tidak lolos parliamentary threshold, kemudian ditetapkan angka bilangan pembagi pemilih (BPP)  DPR. Caranya adalah dengan membagi jumlah suara sah partai dengan jumlah kursi di satu daerah pemilihan.
c)    Setelah ditetapkan angka BPP, dilakukan penghitungan perolehan kursi sebagai berikut:
1.    Membagi jumlah suara sah yang diperoleh suatu partai di suatu daerah pemilihan dengan BPP DPR.
2.    Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan perolehan kursi rahap kedua. Caranya adalah dengan membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada partai yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50% dari BPP DPR.
3.    Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah dilakukan penghitungan tahap kedua, dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap ketiga, caranya adalah:
a)    Seluruh sisa suara partai dikumpulkan di propinsi untuk menentukan BPP DPR yang baru di propinsi yang bersangkutan ditetapkan dengan membagi jumlah sisa suara sah seluruh parrtai dengan jumlah sisa kursi (BPP DPR –propinsi)
b)    Penetapan perolehan kursi partai pada penghitungan ketiga diberikan kepada partai yang mencapai BPP DPR yang baru di propinsi yang bersangkuta,
4.    Dalam hal masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi dengan BPP DPR yang baru, penetapan perolehan kursi partai dilakukan dengan membagikan sisa kursi kepada partai di propinsi satu demi satu berturut-berturut sampai semua sisa kursi habis terbagi berdasarkan sisa suara terbanyak (largest remainder)
5.    Penetapan perolehan kursi partai pada penghitungan ketiga dialokasikan bagi daerah pemilihan yang masih memiliki sisa kursi.
6.    Dalam hal daerah pemilihan adalah propinsi maka penghitungan sisa suara dilakukan habis di daera pemilihan tersebut. 
3.    Penetapan Calon Terpilih
Adapun penentuan calon jadi disebuah partai politik yang memperoleh kursi parlemen adalah didasarkan pada sistem suara terbanyak. Kandidat yang memperoleh suara terbanyak tanpa melihat nomor urut dalam daftar pencalonan ditetapkan menjadi calon jadi. Penggunaan sistem suara terbanyak ini didasarkan pada putusan mahkamah konstitusi No. 22-524/PUU/IV/2008 yang membatalkan ketentuan pasal 214 huruf a sampai e Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang pemilu DPR, DPD, DPRD yang dipandang bertentangan dengan prinsip konstitusi tentang kedaulatan rakyat.
Selanjutnya ditentukan Daftar Caleg (Partai PT). Adapun calon legislatif (caleg) yang terpilih dalam suatu parpol adalah calon yang memenuhi sekurang-kurangnya 30 % dari BPP, dengan ketentuan (Pasal 214 ayat 1) sebagai berikut :
a.    Calon terpilih adalah calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% BPP (misal kita sebut : caleg 30%)
b.    Bila jumlah caleg 30% lebih banyak dari jumlah kursi yang diperoleh parpol tersebut, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil
c.    Bila terdapat dua caleg 30% BPP,dengan perolehan suara yang sama, maka calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil
d.    Bila caleg 30% jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh parpol, maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut
e.    Dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% BPP (kita sebut : parpol non caleg 30%), maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut.
Dari mekanisme tersebut kelihatan bahwa razim nomor urut tetap menjadi faktor penting bagi penentuan calon jadi terutama empat situasi. Pertama, dalam hal calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% dari BPP jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik. Kedua, ketika terdapat dua calon atau lebih yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% dari BPP dengan perolehan suara yang sama. Ketiga, dalam hal calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% dari BPP jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu. Keempat, dalam hal  tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% dari BPP. Meskipun demikian, setiap calon baik di nomor urut kecil dan besar, harus berkeringat mendapatkan 30% BPP supaya aman mendapatkan kursi. Peluang mereka yang berada di nomor kecil akan tertutup ketika ada calon lain yang mendapat 30% BPP. ekanisme penentuan perolehan kursi partai :

B. Sistem Pemilihan Presiden Dalam Pasal 9 UU No.42 Tahun 2008                            Sistem pemilu presiden dan wakil presiden 2009 sama dengan sistem pemilu yang dipakai dalam pemilu 2004 sebab landasan konstitusionalnya tetap. Sistem yang dipakai adalah sistem pemilu dua-putaran (two round system) dikombinasikan dengan distribusi geografis suara.  Ide dasar dari model pemilihan two round system ini adalah untuk menghindari terpilihnya sepasang kandidat dengan proporsi perolehan suara yang sangat minimal dibandingkan dengan jumlah pemilih secara keseluruhan. Atas dasar pertimbangan ini, sistem dua putaran di atas, pada dasarnya merevisi sistem first past the post, yaitu suatu sistem pemilihan sepasang kandidat yang paling sederhana di mana kursi kepresidenan dan wakilnya diberikan pada kandidat yang paling banyak memperoleh suara. Terlepas dari apakah perolehan suara pemenang itu tidak memadai dibandingkan dengan keseluruhan jumlah voters turn out-nya. Beberapa negara yang dikenal mengikuti sistem first past the post ini adalah Zimbabwe, Kenya, Filipina, Zambia, Korea Selatan, Malawi, Islandia dan Mexico. Adapun negara-negara yang memakai sistem dua putaran adalah Mali, Pantai Gading, Kongo, Madagaskar, Polandia, Portugal, Rusia, Ukraina, Finlandia, Austria , Bulgaria dan lain-lain. Dan kini, Indonesia menambah daftar panjang negara-negara yang akan melaksanakan pemilihan presiden secara two round system. 
Dalam UUD 1945 pasca amandemen pasal 6A ayat (3) yang berbunyi:
Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan  sedikitnya dua puluh persen suara disetiap propinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah propinsi di indonesia, dilantik menjadi presiden dan wakil presisden. 
Apabila tidak ada yang mencapai kondisi tersebut maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
a)    2 (dua) pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam pemilu.
b)    Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 2 (dua) pasangan calon, kedua pasangan calon tersebut dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam pemilu presiden dan wakil presiden.
c)    Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 3 (tiga) pasangan calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang.
d)    Dalam hal perolehan suara terbanyak kedua dengan jumlah yang sama diperoleh oleh lebih dari 1 (satu) pasangan calon, penentuannya dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang.
Dalam pemilu 2004 kemarin bahwa hasil quick count LP3ES-NDI  beberapa jam setelah pencoblosan memperkirakan pasangan SBY-MJK memimpin dengan perolehan sekitar 33 persen. MEGAWATI-HASYIM 24,9 persen. WIRANTO-SHOLAHUDDIN sekitar 23,8 persen. AMIEN-SISWONO 14,6 persen. HAMZAH-AGUM sekitar 2,9 persen.  Dalam hal ini yang bisa mengikuti putara kedua dalam pemilihan presiden adalah SBY-MJK dan MEGA-HASYIM, yang mana dari kelima kandidat calon presiden dan wakil presiden tidak ada yang memperoleh suara lebih dari lima puluh persen  (suara mutlak) dengan sedikitnya dua puluh persen suara disetiap propinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah propinsi di Indonesia.
Oleh karena itu, hasil pemilihan presiden 2004 bisa mengubah peta politik dalam pemilu legislatif dan pemilihan presiden 2009. koalisi antar partai yang sudah dimulai dari kerjasama beberapa parrtai dalam pencalonan presiden dan wakil presiden tampak akan mengkristal paska pemilihan presiden. Boleh jadi akan muncul dua atau tiga koalisi bahkan lebih besar antar partai peserta pemilu 2009 sebagai dasar pencapresan dalam pemilihan preesiden 2009.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008, pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dalam pasal 9 mengenai tata cara penentuan calon presiden dan wakil presiden  yang berbunyi.:
Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit duapuluh persendari jumlah kursi DPR atau memperoleh duapuluh lima persen dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden.

Meski koalisi sistem presidensial dengan kepartaian majemuk menghadirkan banyak kesulitan dan masalah, menilik desain sistem pemilu presiden yang berlaku, sulit menghindar dari pembentukan pemerintahan koalisi. Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 membuka ruang adanya koalisi partai politik peserta pemilu. Kemudian, UU Pilpres (yang baru) mengharuskan syarat dukungan paling sedikit 20 persen perolehan kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam pemilu DPR bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Dengan desain legal seperti itu, partai politik yang tengah memasang kuda-kuda menghadapi Pilpres 2009 harus sejak dini mempertimbangkan agar koalisi tak menjadi simalakama bagi presiden.
Bagaimanapun, ide dasar pembentukan koalisi harus dalam kerangka memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Jika hanya dilandaskan pada perhitungan memenuhi target memenangi pemilu, koalisi akan pecah-kongsi sejak awal pembentukan pemerintahan.
Demi memperkuat sistem pemerintahan presidensial, formula pembentukan koalisi sistem parlementer yang dikemukakan Mainwaring layak dipertimbangkan. Dalam hal ini, semua partai politik yang ingin bergabung dalam koalisi bersama-sama menentukan calon presiden dan wakil presiden yang akan mereka ajukan. Untuk menentukan calon itu, bisa saja digunakan koefisien hasil pemilu legislatif dan/atau popularitas calon; diikuti dengan distribusi jabatan menteri. Dengan begitu, tanggung jawab partai politik pendukung koalisi lebih besar atas kelangsungan pemerintahan koalisi.


3.4 Pemilu Sistem Proporsional
Umumnya ada dua sistem pelaksanaan pemilihan umum yang dipakai, yaitu: pemilu sistem distrik dan pemilu sistem proporsional. Namun yang akan dibahas penulis ialah pemilu sistem proporsional.

Sistem ini perjumlah penduduk pemilih misalnya setiap 40.000 penduduk pemilih memperoleh satu wakil (suara berimbang), sedangkan yang dipilih adalah sekelompok orang yang diajukan kontekstan pemilu (multy member constituency), sehingga wakil dan pemilih kurang akrab. Tetapi sisah dapat digabung secara nasional untuk kursi tambahan, dengan begitu partai kecil dapat dihargai tanpa harus beraliansi, karena suara pemilih dihargai.
Indonesia berada ditengah-tengah sistem ini (sistem campuran) dalam pemilihan selama orde baru, tetapi sedikit cenderung agak mirip pada sistem proporsional.

3.5 Kelemahan dan Kelebihan Sistem Proporsional
Kelemahan
1. Sistem ini mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai baru. Sistem ini tidak menjurus kearah integrasi bermacam-macam golongan dalam masyarakat, mereka lebih cenderung lebih mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada dan kurang terdorong untuk mencari dan memanfaatkan persamaan-persamaan. Umumnya diaggap bahwa sistem ini mempunyai akibat memperbanyak jumlah partai;
2. Wakil yang terpilih merasa dirinya lebih terikat kepada partai dan kurang merasakan loyalitas kepada daerah yang telah memilihnya. Hal-hal semacam ini partai lebih menonjol perannya dari pad kepribadian seseorang.
Hal ini memperkuat kedudukan pimpinan partai.
Kelebihan
1. Partai politik bisa leluasa menentukan siapa yang bakal calon.
2. integritas secara citra partai lebih “solid” karana para pemilih mendukung atau mencoblos partai politik serta calonnya.
3. pencalonan perempuan okeh partai politik sebagai anggota legislatif sebanyak 30 %.














BAB IV
                                                 PENUTUP


4.1 Kesimpulan
Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap individu/warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh Negara. Jaminan terhadap hak ini telah dituangkan baik dalam Konstitusi (UUD 1945-Amandemen) maupun UU, yakni UU No. 39/1999 tentang H
ak Asasi Manusia dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik. Pemilu yang lalu telah menoreh sejarah baru dalam transformasi pemerintahan di Indonesia, tahun ini jumlah partai politik terbanyak dalam sejarah pemilu Indonesia yaitu sebanyak 44 partai 38 partai nasional dan 6 partai lokal. Pemilu lalu banyak sekali kelemahan dan pelanggaran terhadap hak politik warga. Kelemahannya yaitu masalah yang bersifat substantif maupun masalah teknis. Kesalahan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu marupakan kesalahan yang paling utama, namun kesalahan itu tidak menutup kemungkinan juga dari warga Indonesia itu sendiri.
Pemilu yang sudah berlalu belum sepenuhnya mencerminkan dengan adanya asas pemilu yaitu asas luber dan judil. Asas pemilu hanya sebagian kecil saja yang sudah tercermin dan terwujud dalam pemilu Indonesia. Namun banyak sekali pelanggaran terhadap nilai – nilai asas luber dan judil. Padahal UUD 1945 telah mentukan bahwa jalannya pemilu harus dilaksanakan dengan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.


4.2 Saran
Jalannya pemilu haruslah sesuai dengan asas pemilu yang sudah secara jelas ditentukan oleh UUD 1945. Penyelenggara pemilu (KPU) harus menghindari kesalahan yang dapat merugikan warga negara, sehingga warga negara merasa tidak dirugikan dan hak politiknya tidak dilanggaran. Pemerintah harus menjamin hak pilih warga dan melakukan tindakan terhadap pelanggaran HAM dalam pemilu.








DAFTAR PUSTAKA

Undang – Undang Dasar 1945 Amandemen ke-4.                                                         Buku Dasar-Dasar Ilmu Politik – Prof. Miriam Budiardjo
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 11 Tahun 2008.
Prasojo, Eko. Demokrasi Di Negeri Mimpi: Catatan Kritis terhadap Pemilu 2004 dan Good Governance. Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI, Jakarta: 2005.
Pengamat hukum tata negara dan pemilu CETRO, Sumber: Harian Tempo, Rabu 15 April 2009.

http://en.wikipedia.org/wiki/pemilu
Harian Kompas, Jumat 10 April 2009.




NAMA : FANNY DITYARINA
NIM / KELAS : 110907095 / A 2011
JURUSAN : ADMINISTRASI NIAGA/BISNIS FISIP - USU
ALAMAT : JL. SEI PADANG DALAM 1 NO.24 MEDAN